PENETAPAN SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS
Adaberbagai penyimpangan yang terjadi saat ini di sehubungan dengan pelaksanaan Perjamuan Kudus. Sadar atau tidak, penyimpangan-penyimpangan itu sudah menjadi suatu hal yang biasa dan tidak dipermasalahkan banyak orang lagi bahkan para pemimpin gereja sekalipun tidak memperdulikannya, seakan membiarkan begitu saja tanpa ada niat memperbaikinya. Ketidakperdulian tentang masalah ini sangat berdampak pada tingkat pengetahuan jemaat masa kini. Kebanyakan orang Kristen seakan telah menerima semua bentuk penyimpangan praktek-praktek pola Perjamuan Kudus yang dilakukan berbagai kelompok kekristenan.
Untuk menguji benar tidaknya pola Perjamuan Kudus dan penyelewengan arti Perjamuan Kudus yang dipraktekkan sekarang ini, harus melalui pengkajian Alkitab. Salah satu jenis penyimpangan pelaksanaan Perjamuan Kudus adalah tentang syarat mengikuti Perjamuan Kudus dan arti Perjamuan Kudus itu. Tentang arti Perjamuan Kudus telah kita lihat dalam artikel-artikel sebelumnya. Sekarang kita akan fokus pada syarat mengikuti Perjamuan Kudus yang dicatat dalam 1 Korintus 11:23-32.
(1) Ia harus percaya Yesus dan telah dibaptis
Perjamuan Kudus itu merupakan sarana anugrah Allah bagi umat percaya. Jadi mereka yang tidak mengenal Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, Perjamuan Kudus tidak memiliki manfaat bagi dirinya meskipun turut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Justru sebaliknya, ia akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya. Perjamuan ini merupakan suatu sarana anugerah Allah bagi pengikut Kristus dimana mereka merenungkan dan mengingat akan pengorbanan dan kematian Kristus di kayu salib bagi dosa-dosa mereka (ref. 1 Kor 11:26).
Mengenang apa yang telah Yesus perbuat akan menolong umat percaya untuk lebih berdedikasi dan dipulihkan untuk lebih mengasihi dan mencintai Yesus dalam hidup. Jika seseorang tidak percaya pada Yesus, apa yang akan ia renungkan? Jawabannya tidak ada. Orang seperti ini biasanya memiliki pengertian yang salah tentang Perjamuan Kudus. Ia beranggapan, jika ia ikut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus, ia akan mendapatkan perlindungan, kesehatan dan kekuatan. Ia menganggap roti dan cawan itu seperti suatu jimat atau magis yang bisa melakukan hal-hal besar bagi dirinya. Jika ia tidak sungguh-sungguh percaya pada Yesus, ia tidak layak mengambil Perjamuan Kudus.
Jika kita perhatikan apa yang dicatat Paulus kepada gereja Korintus, jelas memberitahukan bahwa Paulus mengajarkan doktrin Perjamuan Kudus agar umat percaya di gereja Korintus mengerti dan turut mengambil bagian di dalamnya. Perhatikan kalimat yang disampaikan Paulus, “Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan” benar-benar memberikan suatu penekanan bahwa Paulus, sebagai orang percaya dan rasul menginginkan agar umat percaya di gereja Korintus itu melaksanakan Perjamuan Kudus dengan benar, seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat selanjutnya. Bahkan perikop ini sesungguhnya dituliskan sebagai teguran bagi jemaat Korintus karena adanya penyimpangan dan kesalahan besar yang dilakukan gereja itu. Perjamuan Kudus hanya bagi orang-orang yang sungguh-sungguh percaya. Fakta ini jugalah yang bisa kita lihat dipraktekkan gereja mula-mula (Kisah 2:41-47).
Untuk membuktikan seseorang sungguh-sungguh percaya pada Yesus, ia sudah harus menerima Baptisan Kudus. Ini merupakan syarat utama dalam mengikuti Perjamuan Kudus. Jika ia berasal dari keluarga Kristen, besar kemungkinan ia sudah dibaptis di saat masih bayi. Untuk membuktikan kepercayaannya, ia sudah harus menerima Pengukuhan iman atau yang disebut dengan Sidi. Dengan kata lain, Perjamuan Kudus tidak diperuntukkan bagi mereka yang tidak mengetahui siapa itu Yesus. Seseorang yang ikut mengambil Perjamuan Kudus harus memiliki kesadaran yang tulus untuk setia dan mencintai Yesus sepanjang hidupnya. Anak kecil belum memiliki pemikiran seperti ini, meskipun mengaku telah percaya pada Yesus.
(2) Ia harus meneyelidiki hati dan bertobat di hadapan Allah
Ketika mengikuti Perjamuan Kudus, setipa peserta harus menyelidiki hati dan bertobat di hadapan Tuhan. Perbuatan dosa dan rencana kejahatan serta pemikiran yang tidak berkenan kepada Allah harus diakui dihadapan Tuhan dan dengan hati yang hancur meminta pengampunan dari Tuhan Yesus dan bertekad untuk tidak mengulangi dan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Jadi sebelum seseorang turut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus ia harus menyelidiki hatinya di hadapan Tuhan dan jangan sampai ada dosa dan rencana dosa. Itulah yang ditekankan Paulus kepada jemaat Korintus, “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan” (1 Kor 11:27).
Yang menjadi pertanyaan, apa maksud dari pernyataan, “cara yang tidak layak” di sini? Untuk menjawab pertanyaan ini, Paulus kemudian memberikan penjelasan di ayat selanjutnya, “Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya sendiri” (1 Kor 11:28-29).
Ada dua pertimbangan umum dari arti frase, “cara yang tidak layak” di sini. Pertama, berdasarkan apa yang ditulis Paulus, itu berarti bahwa cara yang tidak layak itu adalah keikutsertaan orang yang tidak menguji dirinya ketika ikut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Tidak menguji diri itu berarti tidak menyelidiki hatinya di hadapan Tuhan dan memutuskan bahwa ia layak dihadapan Allah. Ia tidak menyelidiki hatinya, apa ada dosa dan rencana kejahatan dan sebagainya. Semua berhubungan dengan dosa.
Kedua, pernyataan, “cara yang tidak layak” juga bisa berarti, bahwa ada orang yang tidak percaya pada Yesus namun turut mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Arti ini bisa dilihat dalam konteks ayat 29 dimana Paulus berkata, “tanpa mengakui tubuh Tuhan.” Namun, jika mengingat akan ajaran Paulus di ayat sebelumnya bahwa Perjamuan Kudus itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang percaya, arti kedua ini akan sangat tidak sesuai. Jadi arti sesungguhnya dari pernyataan ini adalah tidak menyelidiki hati dan tidak meminta pengampunan Tuhan atas segala dosa-dosanya. Sebagai akibatnya, Paulus menekankan bahwa orang yang turut mengambil Perjamuan Kudus dengan cara yang tidak layak, “ia mendatangkan hukuman pada dirinya sendiri” (ayat 29).
Dalam bahasa aslinya, kata “hukuman” di sini berarti, “penghakiman atau kutuk.” Dengan kata lain, ikut mengambil Perjamuan Kudus dengan cara yang tidak layak bisa mendatangkan hukuman, penghakiman atau kutuk pada diri sendiri. Itulah sebabnya Perjamuan Kudus itu bukan suatu ritual keagamaan biasa tetapi memiliki arti rohani penting karena itu merupakan ketetapan Allah atau sakramen. Perjamuan Kudus akan menjadi berkat rohani bagi mereka yang percaya. Oleh karena itu, jangan pernah seorang pun menganggap remeh atau merendahkan Perjamuan Kudus. Jangan juga pernah orang Kristen mengganggap Perjumuan Kudus itu sebagai jimat atau magis untuk kekebalan terhadap segala jenis penyakit dan sebagainya. Perjamuan Kudus merupakan sarana anugerah Allah bagi umat percaya, yang mengingatkan kita akan penderitaan, kematian dan kedatangan Yesus Kristus.
Inti dari menyelidiki hati di hadapan Allah dan bertobat adalah bahwa tiap-tiap orang yang ikut mengambil bagian Perjamuan Kudus harus mengakui segala dosa-dosanya dihadapan Allah sebelum turut mengambil roti dan cawan. Itulah sebabnya, sebelum roti dan cawan dibagikan selalu diberitahukan agar jemaat mengambil sedikit waktu untuk berdoa dihadapan Allah. Kemudian, setelah meminta pengampunan dalam doa, setiap orang yang ikut dalam Perjamuan Kudus harus memutuskan dalam hatinya bahwa ia layak di hadapan Allah untuk Perjamuan Kudus itu. Yang membuat ia layak adalah karena ia sudah meminta pengampunan dan bertekad untuk hidup dengan benar dan tidak merencanakan hal-hal yang jahat dan berdosa lagi. Jika seseorang tidak menguji diri dan meminta pengampunan dari Tuhan, maka ia lebih baik tidak ikut dalam Perjamuan Kudus dan ia cukup memperhatikan saja.
KEUNIKAN PERNIKAHAN KRISTEN
Juni 4, 2010 by
Pandangan Teologis mengenai Pernikahan
oleh : Pdt. Jotje Hanri Karuh
Apa yang dimasudkan dengan pernikahan? Di bawah ini ada beberapa pendapat/refleksi mengenai pernikahan dari sudut pandang kekristenan yang mencoba menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan pernikahan.
Pernikahan adalah kesempatan untuk belajar tentang cinta
Pernikahan adalah perjalanan yang harus kita lalui dengan berbagai pilihan dan konsekuensi
Pernikahan lebih banyak dipengaruhi oleh komunikasi batiniah daripada komunikasi lahiriah
Pernikahan lebih banyak dipengaruhi oleh masalah masa lampau yang tak terselesaikan, tetapi hal ini jarang kita sadari
Pernikahan adalah panggilan untuk melayani
Pernikahan adalah panggilan untuk bersahabat
Pernikahan adalah panggilan untuk menderita
Pernikahan adalah panggilan untuk saling berbagi dan memberi
Pernikahan adalah proses pemurnian;
suatu kesempatan untuk dibentuk Allah menjadi pribadi yang dikehendakiNya
Jadi, pernikahan mempunyai makna yang luas. Ia tidak sekedar persatuan tubuh antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Pernikahan adalah sebuah persekutuan hidup yang utuh, yang tak terpisahkan antara dua pribadi, laki-laki dan perempuan, yang dipersatukan menjadi suami-istri. Pernikahan ada dalam rencana Tuhan dan Tuhan melihat persekutuan hidup tersebut sebagai sesuatu yang indah dan baik. Oleh sebab itu, sangat penting bagi setiap pasangan yang akan menikah memahami dasar teologis pernikahan. Hal ini perlu dimengerti, dihayati, dan dilakukan agar hidup pernikahan yang akan dijalani adalah sebuah pernikahan yang kokoh.
DASAR TEOLOGIS PERNIKAHAN
Di dalam Alkitab Perjanjian Lama kita dapat melihat bahwa lembaga sosial pertama yang dibentuk Allah bagi manusia ialah keluarga yang terbentuk melalui sebuah pernikahan (Kejadian 2: 18-25). Lembaga ini Allah dirikan bagi manusia sebelum jatuh ke dalam dosa. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang baik di mata Allah. Menikah dan membangun sebuah keluarga bukanlah dosa. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa pernikahan yang diadakan Allah bagi manusia bersifat kudus. Beberapa ayat Alkitab yang mendukung pandangan di atas adalah Kejadian 1:22; Matius 19:5; Yohanes 2:1-11. Pernikahan itu sendiri merupakan persekutuan kasih yang paling istimewa diantara manusia.
Pernikahan manusia berbeda dengan pernikahan binatang/hewan meskipun kita melihat bahwa hewan pun diciptakan berpasang-pasangan: jantan dan betina. Manusia melebihi binatang dalam hal akal budi, kebebasan kehendak, bahasa, kesadaran akan dirinya sendiri, kesadaran akan Tuhan dan suara hati yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Walaupun pernikahan manusia itu mencakup naluri dan nafsu, seperti yang terdapat pada binatang, tetapi pernikahan manusia merupakan suatu hubungan yang jauh lebih kaya dan agung dari pada pernikahan mahluk lain. Dasarnya ialah karena,“Allah menciptakan manusia itu menurut GambarNya; menurut gambar Allah dijadikanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka (Kejadian 1: 27).
Kejadian 2: 18 menyatakan, “ Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong yang sepadan dengan dia.” Penolong yang sepadan berarti penolong yang dapat saling menunjang, saling melengkapi di dalam kedudukannnya yang sederajad. Seorang pria kedudukannnya tidak lebih tinggi dari kedudukan seorang wanita. Demikian juga sebaliknya. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam derajad yang sama. Keduanya bukanlah unsur yang bertentangan melainkan unsur yang saling melengkapi.
Pada Kejadian 2: 24 Tuhan berfirman, “ Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Dari ayat tersebut kita dapat melihat dasar-dasar yang Tuhan tanamkan pada setiap orang dalam mencapai kebahagiaan hidup pernikahannya, yaitu:
1. “Meninggalkan orang tua”
Ungkapan ini tidak berarti pasangan yang telah menikah tidak lagi menghormati dan mengasihi orangtua mereka masing-masing. Mereka harus tetap mengasihi orangtua mereka. Tetapi yang dimaksudkan ialah setiap pasangan yang telah menikah harus mandiri dalam segala hal. Baik dalam hal keuangan maupun dalam pengambilan keputusan. Saran orangtua sebagai masukan yang berharga. Tetapi keputusan harus bersumber dari pemikiran yang matang dari kedua insan yang telah bersatu dalam pernikahan. Sayangnya, banyak orang yang tidak mamu melakukan hal ini. Mereka meninggalkan rumah secara fisik tetapi tidak secara psikologis. Kelekatan pada orangtua seharusnya digantikan dengan kelekatan pada pasangan hidupnya tanpa mengabaikan kehadiran orangtua masing-masing dalam kehidupan mereka.
2. “Bersatu dengan istri/suami”
Kesatuan suami dan istri dapat diibaratkan dengan dua lembar kertas yang dilem dengan rapih. Diantara kedua lembar kertas tersebut tidak boleh diselipkan unsur ketiga, baik yang berupa orangtua, karir, hobbi, sahabat dan sebagainya. Yang menjadi perekat mereka adalah cinta kasih mereka yang tulus terhadap yang lain.
Suami dan istri harus menjadi satu dalam pikiran, cita-cita dan segala hal yang bersangkutan dengan rumah tangga mereka. Di dalam kesatuan ini mereka pun harus memperlihatkan sikap hidup saling memberi dan bukannya sikap saling menuntut. Apabila semuanya saling menuntut maka rumah tangga itu akan berubah menjadi rumah pengadilan. Bukankah cinta berarti siap memberikan yang terbaik buat pasangan hidupnya! Bersatu dengan istri/suami merupakan komitmen dalam aspek intelektual, emosional, spiritual dan jasmani dari hubungan yang terjalin di antara suami-istri.
3. “Menjadi satu daging”
Menjadi satu daging atau melakukan hubungan seksual adalah unsur ketiga yang dapat terjadi apabila mereka telah “meninggalkan’ dan “bersatu” secara sah. Tanpa unsur pertama dan kedua tersebut di atas maka persetubuhan adalah pelanggaran atau dosa dihadapan Allah. Tetapi di bawah kemah pernikahan, persetubuhan merupakan ungkapan kasih yang dalam yang memperlihatkan kesatuan antara suami dan istri.
Walter Trobish dalam bukunya, ”I Married You”, mengatakan bahwa menjadi satu daging berarti sepakat untuk membagi segala sesuatu yang mereka miliki, bukan hanya tubuh mereka, tetapi juga pikiran, perasaan, sukacita, pergumulan, penderitaan, pengharapan,ketakutan, keberhasilan, dan kegagalan mereka. Jadi, “menjadi satu daging” juga menunjuk kepada persekutuan hidup yang lengkap dan menyangkut semua aspek kehidupan. Persekutuan hidup dalam bentuk pernikahan adalah kehendak Tuhan yang menguntungkan manusia yang ada dalam lembaga khusus, yang diciptakanNya.
Ketiga unsur tersebut di atas adalah segi tiga yang sempurna; yang salah satu seginya tidak dapat dihilangkan. Ketiga unsur itu menyatukan suami dan istri dalam segala hal: baik dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, dalam kekuatiran dan kepastian, keberhasilan dan kegagalan. Oleh sebab itu, persekutuan suami-istri bukanlah persekutuan yang sepele, bahkan bukan hanya merupakan suatu hubungan kontrak yang dapat diputuskan apabila salah satu dari mereka sudah tidak suka terhadap pasangannya. Persekutuan antara suami dan istri adalah persekutuan yang erat dan sangat tinggi nilainya. Karena itu, Tuhan Yesus pernah mengatakan apa yang telah dipersatukan oleh Allah jangan dipisahkan oleh manusia ( Mat. 19: 1-12; Mrk. 10: 2-9).
Dari seluruh pembahasan tersebut di atas kita dapat melihat tiga hal penting yang dapat kita sebut sebagai sebuah keunikan pernikahan Kristen, yaitu:
1. Pernikahan Kristen adalah persekutuan seumur hidup. Ketika seorang pria dan wanita memutuskan untuk bersatu dalam pernikahan harus tidak ada lagi pemisahan. Pernikahan adalah persekutuan seumur hidup.
2. Pernikahan harus monogami dengan kasih Kristus Yesus yang mempersatukan kasih diantara suami-istri. Seorang pria atau wanita tidak akan pernah menjadi satu daging seutuhnya apabila dalam kehidupan mereka terdapat “WIL” dan “PIL”.
3. Pernikahan Kristen menuntut kesetiaan. Bukankah gambaran Alkitab mengenai pernikahan adalah tentang keintiman yang dalam dan abadi, hubungan yang saling membahagiakan dan memberi kesejahteraan. Sedangkan penyelewengan dalam pernikahan adalah pembalikan dari seluruh prinsip pernikahan kristiani.
4. Di dalam dan melalui pernikahan yang kita jalani nama Tuhan dimuliakan dan orang-orang lain melihat bahwa Tuhan hadir dalam rumah tangga kita. Dengan demikian, kita menggunakan pernikahan sebagai kesempatan untuk bersaksi tentang Tuhan. Pernikahan Kristen mempunyai kelebihan lain karena kehadiran Allah, Kristus Yesus, sebagai kepala.
Jika tidak demikian, itu bukanlah pernikahan yang sesuai dengan kehendak Allah. Kurang dari itu hidup pernikahan yang dijalani akan mudah kandas. Tetapi jika seorang pria dan wanita ketika menikah ia berkomitmen kepada Allah, kepada pasangannya, dan kepada dirinya sendiri untuk menjalani kehidupan pernikahan sesuai kehendak Allah, pernikahan yang dijalaninya akan menjadi sebuah perjalanan yang membahagiakan dan mensejahterakan,
Faktor-faktor penyebab kegagalan dalam pernikahan
Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu kegagalan dalam kehidupan pernikahan, di antaranya sebagai berikut:
1. Motivasi yang keliru dalam menikah, misalnya:
o Menikah karena dorongan kebutuhan seksual. Menikah hanya karena sudah “ngebet” untuk memenuhi kebutuhan seksual tidak akan melahirkan pernikahan yang langgeng.Mengapa? Dalam pernikahan yang dimotivasi oleh hal tersebut pasangan hidup dilihat hanya sebagai obyek pemuas nafsu seksualitas semata. Tidak lebih tidak kurang.
o Pelarian dari suatu masalah hidup yang sedang dihadapi, misalnya himpitan kebutuhan ekonomi, karena putus cinta, dan sebagainya.
o Menikah karena takut dicemooh, menjadi perawan tua, perjaka tua, jomblo, dan sebagainya.
o Menikah karena mengharapkan kelimpahan material dari pasangan hidupnya. Perlu diingat bahwa harta kekayaan bukan jaminan untuk dapat hidup bahagia.
2. Komunikasi keluarga yang tidak berjalan dengan mulus dan saling membangun satu terhadap yang lainnya.
3. Kesulitan ekonomi/keuangan.
4. Intervensi pihak ketiga dalam keluarga, misalnya orangtua, mertua, dan saudara.
5. Ketidaksetiaan pada pasangan, misalnya adanya wanita idaman lain (WIL) atau pria idaman lain (PIL).
6. Persaingan dalam karier.
7. Ketidak dewasaan dalam mengelola konflik.
Untuk langgengnya sebuah pernikahan maka dalam pernikahan kristen itu harus ada usaha dari kedua belah pihak (suami-istri) untuk:
- Hidup saling mengasihi.
- Hidup saling menerima pasangan hidupnya dengan segala kelemahan dan kelebihannya, kegagalan dan keberhasilan, serta dalam sakit dan sehat.
- Hidup saling mengampuni/memaafkan.
- Hidup saling melayani.
Kata ‘saling’ di sini berarti kita berbuat sesuatu tanpa harus menunggu pasangan hidup kita yang terlebih dahulu berbuat demikian. Karena dengan menunggu berarti kita telah membuat suatu persyaratan; dan kasih kita kepada pasangan hidup kita tidak murni dan tulus. Jadi, Pernikahan yang langgeng itu bukan karena faktor keberuntungan atau kebetulan. Beruntung dapat suami atau istri yang “bageur” tetapi karena diusahakan atau diciptakan dengan sengaja yang berlandaskan kasih antara suami dan istri.
Peneguhan dan pemberkatan nikah
GKI memahami kebaktian dan peneguhan pernikahan bukan sebuah sakramen seperti di gereja Katholik. Meskipun demikian, GKI memandang pernikahan sebagai sebuah peristiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia dan berada dalam rencana Allah. Oleh sebab itu, meskipun bukan sakramen bagi GKI pernikahan adalah sesuatu yang kudus dan berada dalam rencana Allah sehingga tidak boleh dipermainkan oleh siapa pun.
Jika demikian bagaimana kita memahami kebaktian peneguhan dan pemberkatan nikah gerejawi yang dilakukan di GKI? Tata Gereja GKI Bab X pasal 28 memberikan penjelasan apa yang dimaksudkan dengan pernikahan gerejawi sebagai berikut:
1. Pernikahan gerejawi adalah peneguhan dan pemberkatan secara gerejawi bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menjadi pasangan suami-istri dalam ikatan perjanjian seumur hidup yang bersifat monogamis dan yang tidak dapat dipisahkan, berdasarkan kasih dan kesetiaan mereka di hadapan Allah dan jemaatNya.
2. Pernikahan gerejawi dilaksanakan dalam kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan di tempat kebaktian jemaat.
Bagaimana kita memahami kebaktian peneguhan dan pemberkatan nikah gerejawi? Apa makna peneguhan dan pemberkatan nikah? Rumusan tersebut di atas secara implisit menegaskan bahwa kebaktian peneguhan dan pemberkatan nikah mempunyai makna yang dalam bagi mereka yang memasuki hidup pernikahan.
1. Pengakuan bahwa permulaan hidup pernikahan adalah di dalam Tuhan.
2. Kedua mempelai menyatakan secara terbuka kepada umat bahwa mereka mulai saat itu adalah suami-istri di dalam pernikahan yang kudus.
3. Kedua mempelai menyatakan janji dihadapan Tuhan dan jemaatNya untuk hidup didalam tanggungjawab kristiani. Oleh sebab itu, peneguhan dan pemberkatan pernikahan dilakukan di dalam kebaktian jemaat dan disitulah mempelai menyatakan janjinya.
4. Akta liturgis pada bagian peneguhan dan pemberkatan nikah tidak sekedar formalitas, melainkan sebuah janji iman kedua mempelai kepada Tuhan yang disaksikan oleh jemaatNya. Oleh sebab itu, kedua mempelai harus menjadikan pernikahan mereka langgeng dan menyejahterakan sampai maut memisahkan mereka sebagai bentuk konkret mewujudnyatakan janji imannya kepada Tuhan yang disaksikan jemaat.
Satu hal penting yang perlu diingat yaitu gereja tidak mensahkan sebuah pernikahan melainkan meneguhkan dan memberkati pernikahan. Pernikahan dinyatakan sah apabila telah sah menurut hukum negara dan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian, pasangan yang telah diteguhkan dan diberkati pernikahannya harus segera mencatatkan pernikahannya pada lembaga negara – dalam hal ini Kantor Catatan Sipil - agar pernikahannya sah secara hukum kenegaraan.
Apakah Anda ingin hidup bahagia dengan pasangan Anda sampai maut memisahkan kalian? Seberapa serius Anda dan pasangan ingin hidup dalam pernikahan yang menyejahterakan? Jangan jawab sekarang, tetapi wujudkan dan nyatakan! Tuhan akan menolong Anda yang sungguh-sungguh ingin berhasil dalam hidup pernikahannya dan menjadi saluran berkat Tuhan melalui rumah tangganya. Be blessed!
“Untuk mewujudkan keutuhan sebuah keluarga dibutuhkan dua orang. Sedangkan untuk mengancurkannya cukup diperlukan satu orang.”
http://blessedday4us.wordpress.com/2010/06/04/keunikan-pernikahan-kristen/
Tujuan Teologis
Tujuan ini tidak diberikan secara langsung dalam Kejadian 1 dan 2, namun rasul Paulus mengutip Kejadian 2:24 dalam Efesus 5:31 untuk membuktikan bahwa ada tujuan demikian bagi institusi pernikahan:
Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela. Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya. Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya (Efesus 5:22-33).
Ini adalah bagian yang sangat penting mengenai pernikahan, dan kita akan memperhatikannya lagi nanti. Tapi sekarang, saya ingin Anda memperhatikkan sesuatu yang sangat signifikan di sini, yaitu apa yang menjadi perhatian utama Paulus?
Sekilas mungkin nampak bahwa ia hanya peduli dengan memberi instruksi kepada suami dan istri, namun saat Anda membaca ayat 32, Anda akan menyadari bahwa bukan demikian. Paulus berkata, "Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat." Kata rahasia di sini bukan brarti sesuatu yang tidak dapat kita mengerti, melainkan sesuatu yang menakjubkan atau mengejutkan. Apa yang dikatakan Paulus? Ia sedang berbicara bahwa pernikahan ditetapkan demi satu tujuan yang sangat penting, yaitu untuk mengilustrasikan relasi Kristus dan Gereja. Jadi gereja sering dilukiskan sebagai mempelai atau istri Kristus.
Karena itu di Perjanjian Lama, kepada bangsa Israel, Gereja Perjanjian Lama, Yesaya berkata, "Sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, TUHAN semesta alam nama-Nya" (Yesaya 54:5a). Kepada orang-orang yang murtad (dalam gereja Perjanjian Lama), Yesaya berkata: "Kembalilah, hai anak-anak yang murtad, demikianlah firman TUHAN, karena Aku telah menjadi tuan atas kamu!" (Yeremia 3:14a).
Mirip dengan itu, di Perjanjian Baru, selain Efesus 5, kita mendengar Paulus mengeluh terhadap jemaat Korintus: "Sebab aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi. Karena aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus" (2 Korintus 11:2). Dan juga, Yohanes, tentang penyempurnaan karya penebusan Kristus, berkata, "Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia. Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih! (Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus.)" (Wahyu 19:7-8).
Inilah alasan mengapa banyak penafsir masa lalu mempertahankan bahwa Kidung Agung, yang sekilas nampak sebagai kisah cinta yang indah antara seorang gembala dan seorang perempuan Sunem, sebenarnya merupakan alegori untuk melukiskan relasi yang indah antara Kristus dan Gereja-Nya. Karena itu, ketika sang mempelai berkata, "Kepunyaan kekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju" (Kidung Agung 7:10), ini dapat dilihat sebagai pengakuan Gereja akan ketaatannya kepada Kristus dan sukacitanya dalam kasih-Nya kepadanya.
Kita harus menyadari ketika kita berkata bahwa tujuan teologis pernikahan ialah untuk melukiskan kesatuan Kristus dan Gereja-Nya, ini tidak berarti bahwa ini sekedar teori belaka. Ada implikasi praktis hal ini, dan saya menyarankan tiga implikasi:
a. Pernikahan kita harus menjadi kesaksian hidup akan kesatuan Kristus dan Gereja-Nya.
Apakah Anda sekarang melihat mengapa institusi pernikahan begitu penting bagi orang-orang Kristen dan mengapa begitu penting bagi orang-orang Kristen untuk memiliki pernikahan Kristen yang baik? Kalau sebagai orang-orang Kristen, pernikahan kita tidak mencerminkan bahagianya kesatuan Kristus dan Gereja-Nya, saya takut kita punya alasan untuk bersedih, karena pernikahan merupakan institusi yang mencerminkan esensi Kekristenan---kesatuan antara Kristus dan mempelai-Nya.
Sebagai orang Kristen, kita tidak dapat menganggap remeh pernikahan. Dunia boleh memandang remeh pernikahan bagi kecelakaan mereka sendiri, namun kalau seorang Kristen meremehkan pernikahan, ini merupakan penghujatan terhadap Kristus. Karena inilah saat Paulus menasehati perempuan-perempuan yang lebih tua untuk mengajar mereka yang lebih muda untuk menjadi ibu dan istri yang baik, ia memberikan alasannya sebagai "agar Firman Allah jangan dihujat orang" (Titus 2:5).
b. Kita harus menikah hanya di dalam Tuhan.
Karena ikatan pernikahan antara suami dan istri mencerminkan relasi antara Kristus dan Gereja, Alkitab tidak mengijinkan, bahkan melarang, pernikahan antara orang percaya dan yang tidak percaya. Kalau Anda seorang Kristen dan berencana menikah, pernikahan Anda hanya akan mendapat berkat Allah jika pasangan Anda juga seorang percaya. Paulus berkata, "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" (2 Korintus 6:14). Dan saat Paulus berbicara tentang janda yang ingin menikah lagi, ia berkata, "Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya" (1 Korintus 7:39).
Saya tidak dapat melebihkan betapa pentingnya instruksi Alkitabiah ini. Bukan saja Firman Allah penuh penekanan, saya juga pernah mengkonseling dan bertemu dengan sejumlah orang Kristen yang telah memasuki pernikahan dengan orang-orang yang tidak percaya melawan instruksi Alkitab, dan mereka telah menderita begitu hebat sebagai akibatnya.
Beberapa tahun lalu, hal ini terjadi pada seorang pemudi yang adalah seorang guru Sekolah Minggu, sangat berkomitmen dalam pekerjaan Tuhan. Pemudanya adalah teman kantornya, seorang yang tidak percaya yang menurutnya sedang ia coba untuk menangkan bagi Kristus dan tidak lebih dari itu. Akan tetapi mereka menghabiskan banyak waktu bersama-sama dan saat beberapa dari kami mulai memperhatikan bahwa suatu relasi nampaknya sedang berkembang di antara mereka, kami memperingatkan pemudi ini akan bahayanya menjadi terlalu dekat secara emosional dengan pemuda tersebut. Ia menangis, namun tidak dapat melepaskan dirinya. Mereka menikah, dan sekarang, suaminya begitu anti-Kristen sehingga ia tidak pernah ke gereja sejak saat itu maupun membaca buku Kristen apapun. Dan saat anak mereka lahir, ia harus secara khusus meminta teman-temannya untuk tidak memberikan buku-buku Kristen kepada mereka sebagai hadiah karena suaminya akan tidak senang.
Kasus ini begitu menyedihkan bagi saya karena saya selalu berpikir pemudi ini adalah seorang perempuan yang sangat saleh, dan saya masih berharap suatu hari ia akan kembali kepada Tuhan.
Jika Anda telah memasuki pernikahan yang tidak seimbang dengan tidak sadar, atau mengenal seseorang yang telah melakukannya, Anda harus tahu apa yang dikatakan Alkitab tentang situasi tersebut. Instruksi Paulus yaitu supaya pihak yang percaya tetap mempertahankan pernikahan selama suami/istrinya bersedia untuk bertahan (1 Korintus 7:12-15). Rasul Petrus melangkah lebih jauh dengan menasehatkan bahwa istri yang percaya harus menampakkan teladan Kristen supaya suaminya mungkin dimenangkan bagi Kristus tanpa kata-kata (1 Petrus 3:1).
Namun jika Anda belum menikah, jangan berpacaran dengan seorang yang tidak percaya dengan anggapan bahwa Anda dapat mempertobatkan dia. Anda hampir tidak akan berhasil. Berdirilah di atas kursi dan coba tariklah teman Anda ke atas. Lebih mungkin bagi Anda untuk tertarik ke bawah. Dan bukan hanya itu, sementara Anda berada di dalamnya, Anda berdosa terhadap Allah dengan mengacuhkan firman-Nya. Anda tidak dapat mengharapkan berkat-Nya bagi relasi Anda ataupun doa Anda didengar oleh-Nya: "Siapa memalingkan telinganya untuk tidak mendengarkan hukum, juga doanya adalah kekejian" (Amsal 28:9). Saya tidak berkata bahwa tidak mungkin bagi orang tidak percaya dalam relasi yang tidak seimbang untuk bertobat dan percaya Tuhan. Akan tetapi menurut pengalaman saya, dalam dua kasus yang terjadi seperti itu, pihak yang tidak percaya akhirnya mengenal Tuhan setelah pihak yang percaya memutuskan relasi tersebut dalam ketaatannya kepada Allah. Melalui providensia Allah, dalam kedua kasus tersebut, mereka bertemu kembali dan menikah.
Akan tetapi jika Anda masih bujang, saya ingin mengingatkan Anda untuk melakukan apa yang benar dan tunggulah Tuhan mengirimkan bagimu seseorang, yang dengannya Anda dapat menikmati ikatan pernikahan yang indah yang menghormati Kristus. Anda dibeli dengan harga yang mahal. Jangan meremehkan kasih Kristus dengan tidak menaati-Nya. Jangan mencobai Tuhan dengan berpacaran dengan orang yang tidak percaya. Percaya kepada Tuhan bahwa Ia tahu yang terbaik bagi Anda.
c. Peranan suami dan istri.
Implikasi ketiga dari tujuan teologis pernikahan yaitu bahwa suami harus mengasii istrinya tanpa syarat sama seperti Kristus mengasihi gereja tanpa syarat; istri harus tunduk kepada suaminya dengan sepenuh hati sebagaimana gereja tunduk kepada Kristus sepenuh hati.
Kesimpulan
Kiranya Tuhan menolong kita, seiring dengan kita mengerti rancangan pernikahan, kita berusaha untuk memasuki pernikahan atau membangun pernikahan kita dengan ketetapan hati yang kudus untuk memperkenan Tuhan. Kiranya pernikahan kita mencerminkan kesatuan yang indah antara Kristus dan Gereja-Nya.
Tata Ibadah Minggu HKBP: Sejarah, Teologi dan Pemakaiannya
A).Dalam ibadah naik sidi, menurut beliau pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh calon konfirmanden itu telah memaksa mereka untuk berjanji ( “marpadan” ) mengiyakan dan melakukan apa-apa yang mustahil dilakukan tanpa salah sebagai manusia biasa, yaitu: mengakui firman Allah yang mereka pelajari sebagai jalan ke kehidupan ( pertanyaan I ), percaya kepada Allah Bapa, AnakNya Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus ( pertanyaan II ), bersedia berperilaku sesuai dengan iman ( haporseaon ) yang telah diakukan ( pertanyaan III ), bersedia menjauh dari segala macam dosa dan segala macam hal yang bertentangan dengan firman Allah, sampai akhir hayat ( pertanyaan IV ); bersedia menghadiri ibadah hari Minggu untuk mendengarkan firman Allah, dan juga bersedia setiap hari berdoa kepada `Allah ( V ); dan terakhir, bersedia mengikuti perjamuan kudus sebagai jalan untuk menguatkan iman ( VI ). Beliau mempertanyakan apakah layak Gereja itu seolah-olah punya hak dalam nama Allah untuk mendorong ( memaksa ) mereka berjanji di hadapan Allah dan jemaat, bahwa mereka tidak akan melepaskan diri dari Yesus sumber kehidupan itu ( “’Nada ra be morot au sian Jesus hangoluan’” ).[29]
Penjelasan kritis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menurut beliau secara teologis tidak dapat dibenarkan, sebab adalah keyakinan umum bahwa manusia itu selalu cenderung untuk melarikan diri dari hadapan Allah. Kemudian, bagi F.Tiemeyer tidaklah benar secara teologis untuk mengundang mereka yang baru naik sidi itu untuk melakukan perjamuan kudus. Karena di situ ada unsur pemaksaan. Usul beliau ialah, supaya menghilangkan ke-enam pertanyaan itu, pertanyaan sehubungan dengan pengikatan janji itu. Mata acara pengakuan iman percaya sangatlah tepat untuk dipertahankan dan dilaksanakan. Sebagai ganti dari keenam pertanyaan yang bermuatan pemaksaan kehendak terhadap calon naik sidi, ini lebih baik diganti dengan himbauan atau bimbingan berdasarkan firman Allah. Kemudian, supaya acara perjamuan kudus dipisahkan dari acara naik sidi, dan dengan demikian keinginan yang tulus dari setiap anggota jemaat untuk mengikuti atau tidak mengikuti menjadi prioritas utama. Tentang keinginan supaya usia memasuki pelajaran naik sidi itu di geser ke tingkat usia yang lebih dewasa, hal ini sebaiknya dipikirkan secara psikologis – religi, tetapi kalau jawabannya dari segi teologi ialah, bahwa Roh itu bergerak kemana Dia inginkan. Dan sebagaimana beliau asumsikan, bahwa perubahan usia memasuki naik sidi itu dikaitkan dengan tujuan “lahir kembali” ( Neugeburt ), pada hal tentang lahir kembali itu tidak pernah bergantung pada usia seseorang.
B). Tentang ibadah baptisan, beliau mengedepankan pikiran beliau, bahwa dalam baptisan itu, Allah telah melakukan sebuah awal yang baru. Allah yang bertindak, bukan manusia. Bukan dengan cara magis, tetapi melalui firman yang anugerah itu. Dalam baptisan anak-anaklah memang paling nyata bahwa Allah yang bertindak, bukan manusia bersama Allah. Beliau memberikan alasan teologisnya, bahwa jauh sebelum manusia tahu secara sadar akan yang baik dan yang jahat, jauh sebelum kita manusia dapat memutuskan sesuatu untuk kita, kepada kita sudah jatuh sebuah keputusan melalui sebuah akta yang nampak, di dalam nama Allah. Dengan alasan demikian, beliau mengatakan bahwa anak baptisan itu melalui akta baptisan telah menerima secara utuh keselamatan dari Allah.
3.2. Usul perbaikan: Berdasarkan pemikiran teologis di atas, beliau melihat ada yang harus diperbaiki dalam rumusan-rumusan kata-kata resmi ( liturgy ) dalam mata acara baptisan itu. Beliau mempertanyakan, apakah bisa dipertanggungjawabkan ( teologis ), kalau para orang tua anak baptisan mengucapkan pengakuan percaya mereka dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka? Apakah hal ini mengisyaratkan, bahwa manusia dapat membuat keputusan sendiri atas kekuatannya sendiri. Dan mengapa Gereja menginjinkan para calon baptisan atau orang tua para calon baptisan ( anak-anak ) lebih dulu mengucapkan pengakuan percaya mereka? Apakah baptisan itu bergantung pada ( kemampuan ) iman manusia? Apakah kita tidak tahu, demikian beliau, bahwa baptisan hanya terjadi di atas dasar firman Allah, atas dasar perintah Kristus? Karena tanpa firman itu, air baptisan tetap air, dan tidak bakal ada baptisan, demikian beliau mengutipnya dari seorang teolog sezamannya. Dan terakhir, beliau memberi komentar atas kelemahan dari pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab oleh para orangtua anak baptisan. Ketiga pertanyaan itu tidak memberi ruang untuk memikirkan hubungan antara pertobatan ( Busse ) dan baptisan, yang dikedepankan ialah hubungan antara baptisan dan pengajaran ( Schulunterricht ), antara baptisan dan perilaku yang terpuji ( guten Wandel ) [30]
C.) Sorotan berikut ialah tentang dasar teologis dan cara merayakan perjamuan kudus seperti tertuang dalam Agenda 1904.[31] F.Tiemeyer memperkenalkan posisi teologis beliau, bahwa “perjamuan kudus menggambarkan kehadiran yang hidup dari Allah yang dinyatakan dalam Kristus ( die lebendige Gegenwart des in Christus geoffenbartes Gottes ). Di sini nampaklah cinta kasihNya ( seine Liebe ). Pemberian-Nya ( Sein Geben ). Ajakan-Nya ( Sein Werben ). Simpati-Nya kepada kita ( Seine Hingabe an uns ). Singkatnya EUXARISTI.” Beliau menambahkan lagi bahwa, perjamuan kudus adalah akta yang sesungguhnya, yang mendasar dalam mendirikan jemaat-Nya.
3.3. Penjelasan kritis: Berangkat dari pemahaman di atas, beliau melihat bahwa tugas yang paling sulit untuk para misionaris RMG / HKBP ialah membaharui tata ibadah perayaan perjamuan kudus yang sejak 1860-an telah dirayakan oleh jemaat-jemaat di HKBP. Namanya saja yaitu “ulaon na badia” ( karya yang kudus ) telah menciptakan pemahaman tentang perbuatan baik dari pihak manusia. Beliau menilai bahwa di sini sudah terjadi kesalahpahaman tentang perayaan perjamuan kudus. Kelima pertanyaan yang mau dijawab oleh jemaat sangat jelas mengedepankan kemauan baik ( guten Willen ) manusia, dan baru pada tempat yang kedua muncul kasih Allah dan kepedulian Allah Bapa didalam Anaknya Yesus Kristus. Beliau menekankan, bahwa upaya-upaya pertobatan kita manusia tidak akan memampukan kita menerima sakramen itu, melainkan hanya iman: “’diberikan dan dicurahkan bagimu’”. Beliau ingin kembali pada pemahaman jemaat mula-mula, di mana nampak unsur perayaan, bukan kelayakan manusia menerima atau belum layak menerimanya. Unsur perayaan itu sedemikian berharga, yang padananya ialah perayaan hari kematian dan pemakaman orang-orang percaya. Kekayaan karya perbuatan Allah dalam perjamuan kudus ( Abendmahl = perjamuan malam ) telah tertutupi dalam “ulaon na badia” ( karya kudus manusia ). Untuk itu beliau masih mengutip pandangan seorang teolog sezamannya, bahwa perjamuan malam itu adalah jaminan realitas Gereja dalam dunia kematian kita dan kepastian harapan akan hari, di mana kerinduan jemaat pengantin laki-laki digenapi oleh jamuan malam domba.
4. Dasar-dasar teologis dan praktis ibadah menurut para pemerhati ibadah kristiani masa kini.
Di bawah ini akan diperkenalkan berbagai opsi tentang ibadah yang sejati, yang injili sebagaimana dilihat oleh para pemerhati dari bidang Teologia. Tujuannya ialah bukan untuk membuat sebuah perbandingan , tetapi untuk semakin memantapkan pemahaman teologis dan praktis sebagaimana diharapkan oleh F.Tiemeyer , yang mewakili suara para pelaku pengadaan buku Agenda HKBP. Dengan demikian kita pun tertolong untuk menggunakannya sebagai bahan acuan dan referensi untuk merevisi tata ibadah HKBP. Sepintas terkesan bagi kita, alangkah dekatnya pendekatan dan pemahaman dari para generasi misionaris Jerman tersebut dengan opsi-opsi yang disajikan oleh para pemerhati kini. Baik pikiran “lama” maupun pikiran “baru” tersebut cenderung untuk mendorong kita untuk memikirkan ulang dasar-dasar teologis dan praktis serta bentuk dari tata ibadah HKBP untuk masa depan.
4.1. Andar Ismail. Beliau membuat opsi yang sangat jelas dan sederhana, yaitu adanya tiga kaidah ibadah yang injili: (1) Kaidah keutuhan. Keutuhan semua mata acara ibadah mulai dari awal hingga yang akhir. Artinya, hakikat bagian awal ibadah adalah undangan pihak Tuhan Allah dan kedatangan pihak jemaat atau umat. Bagian awal ini dicerminkan oleh pujian, penyesalan, perendahan diri, pengakuan dosa, permohonan, dan pemberitaan anugerah. Kemudian sapaan Allah adalah bagian yang kedua, dicerminkan oleh: pembacaan Alkitab, khotbah, dan sakramen. Dan akhirnya ditampilkan bagian yang terakhir, yang dicerminkan oleh: pengakuan iman, persembahan, dan doa syafaat. Dengan menampilkan sebuah ibadah yang utuh, maka setiap anggota jemaat akan diberi kesempatan untuk menempuh perjalanan rohani / spiritual bersama dari jemaat /umat yang berkumpul itu. Asumsi kita, paparan F.Tiemeyer akan mendudukung usulan ini, yaitu menampilkan keutuhan dari semua mata acara ibadah injili itu, sekalipun urutan mata acara itu menampilkan perbedaan. Opsi Tiemeyer dan opsi Ismail sama-sama tidak menampilkan mata acara pembacaan Hukum Taurat; artinya penampilan Hukum Taurat dalam tata ibadah HKBP edisi 1998 tidak dipengaruhi oleh opsi kedua tokoh ini. Tata ibadah 1904 menempatkan mata acara pengakuan iman sebelum mata acara khotbah, sedang Tiemeyer dan Ismail menempatkannya sesudah khotbah; apa pun alasan masing-masing, kalau secara teologis – praktis alasan-alasan tersebut tidak bakal bertentangan, tergantung pada penekanan dari hakikat Hukum Taurat itu sendiri, karena Hukum Taurat merangkum Hukum Kasih, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama, jadi bukan menonjolkan muatan yang berlebih-lebihan akan tuntutan kehidupan moralistis-individualistis, yang cenderung menggambarkan dunia gelap yang penuh kuasa iblis yang harus dijauhkan oleh setiap orang percaya. Dengan kalimat Tiemeyer, Gereja harus mempertahankan adanya ketenangan indah / dialektis antara keterikatan dan kebebasan yang bersumber dari firman Allah yang dibaca dan dikhotbahkan itu. (2). Kaidah timbal-balik. Artinya, ibadah yang menampilkan adanya irama gilir-ganti, timbal-balik atau sahut menyahut. Ini nampak dalam mata acara votum: Allah menyatakan kehadiran-Nya, yang segera disambut oleh jemaat / umat; pembacaan Alkitab atau khotbah yang melambangkan firman Allah, yang segera disambut jemaat / umat dengan sikap bersaat teduh. Dengan kata lain, Allah menyapa dan jemaat menjawab. Atau jemaat bicara dan Than menjawab. Ketika jemaat berdoa, nampak bahwa jemaat bicara dan Allah mendengar, sekaligus berbisik kepada jemaat dan jemaat berdiam diri mendengar bisikan Allah. Dalam kaidah timbal-balik itu jemaat menampakkan diri sebagai subjek yang aktif, bukan pasif, sebagaimana diduga oleh sebagian orang. Tata ibadah HKBP 1904 dan 1998 menampakkan kaidah timbale-balik tersebut, sekalipun sering dikaburkan oleh banyaknya paduan suara yang memuji Tuhan bersama-sama dengan jemaat. Apa fungsi sebuah nyanyian paduan suara itu, seharusnya Gereja harus memberikan penjelasan teologis – himnologis kepada setiap paduan suara itu, yang memang adalah sebuah kekayaan rohani bagi setiap jemaat yang beribadah. (3). Kaidah keseimbangan. Dalam ibadah terjadi peristiwa di mana dua pihak yang berinteraksi, keduanya dalam tataran yang sama, “tidak ada pihak yang lebih dominan dari yang lain ”, demikian Ismail. Maksudnya ialah supaya jangan kita misalnya terus menyanyi tanpa hentinya, atau supaya setiap doa jangan berkepanjangan atau supaya khotbah jangan mendominasi panjangnya kebaktian. Menjaga keseimbangan mata acara dalam sebuah ibadah haruslah dijaga, supaya tercipta apa yang didambakan oleh Rasul Paulus untuk jemaat Alkitab saat Paulus melakukan kata bimbingannya supaya ibadah itu “harus berlangsung dengan sopan dan teratur”. ( 1 Kor. 14:30 ).[32] Kaidah ketiga ini pun sangat membantu gagasan merevisi tata ibadah HKBP yang sering tidak lagi mencerminkan kaidah keseimbangan ini. Kaidah keseimbangan menjadi salah satu faktor penentu dalam membuat sebuah ibadah yang injili di tengah-tengah jemaat HKBP.
4.2. John Stott. Beliau mendahulukan pemikirannya tentang kewajiban manusia yang utama dan terutama, yaitu kewajiban kepada Tuhan dan bukan kewajiban kepada sesama. Tidak semua orang Kristen adalah penginjil, tetapi semua mereka adalah pendoa, orang yang beribadah, baik secara pribadi maupun secara publik. Dan ibadah kepada Tuhan adalah kekal dan seluruh hidup kita adalah ibadah, artinya melayani Tuhan dengan seluruh hidup kita. Dan definisi alkitabiah yang paling tepat untuk pemahaman demikian, mungkin demikian beliau berasumsi ialah dengan mengutip Maz. 105:3, bahwa beribadah adalah “’bermegah dalam namaNya yang Kudus.’” [33] Di dalam nats ini terbungkus dengan rapi nama Allah yang kudus itu, artinya berbeda dengan dan mengatasi semua nama lain di dunia dan di surga, atau di mana saja yang dapat dibayangkan manusia. Begitu kita menatap sejenak kekudusan nama-Nya yang agung, kita melihat betapa tepatnya “’memuliakan’” atau bermegah di dalamnya, tidak ada pilihan lain hanya sujud di hadapan-Nya. Sudah selayaknyalah kita manusia bergabung dengan seluruh ciptaan Allah untuk memuliakan-Nya, karena Dialah Pencipta dan Penebus kita ( Wahyu 5:9-14). Sudah selayaknyalah kita manusia dengan seluruh ciptaan-Nya “’bersujud menyembah kepada tumpuan kaki-Nya’” ( Maz.99:5).
Berangkat dari definisi alkitabiah di atas, maka ada empat ciri utama bagi sebuah ibadah yang sejati, yaitu: (1) “ibadah sejati adalah ibadah alkitabiah, artinya ibadah itu merupakan tanggapan terhadap pewahyuan alkitabiah.” [34] Itu berarti bahwa pembacaan firman Allah dan khotbah bukanlah mata acara sampingan atau barang asing, tetapi justru merupakan mata acara yang hakiki. Adalah suatu hal yang wajar, ketika nats dibacakan dan khotbah disampaikan, maka jemaat akan sibuk membuka halaman Alkitab untuk menemukan dan mengikuti nats yang sedang dikhotbahkan. Ibadah yang sejati harus memberi kesempatan bagi jemaat untuk merespons, menanggapi firman Allah yang dibaca dan dikhotbahkan itu, dan oleh karena itu maka para pengkhotbah harus mempersiapkan khotbahnya dengan sempurna.
(2) “ibadah sejati adalah ibadah jemaat kolektif.” Artinya, ibadah yang menyenangkan Tuhan dipersembahkan bersama-sama oleh jemaat / umat-Nya, yang berkumpul untuk melakukannya. Lebih jauh lagi, Stott mengusulkan supaya ibadah jemaat local itu “seharusnya mengungkapkan cirri internasional dan intercultural tubuh Kristus.” [35] Saran beliau bagi jemaat-jemaat local yang homogen seperti HKBP ialah supaya gereja-gereja yang homogen itu sadar bahwa “setiap gereja satuan homogen harus mengambil langkah aktif untuk memperluas persekutuannya, agar dapat menampakkan secara kelihatan kesatuan dan keragaman gereja.” [36] Dalam pemahaman demikianlah, maka dapat ditambahkan, bahwa sudah sewajarnya gereja-gereja anggota PGI menyambut baik upaya PGI untuk merayakan sebuah hari Minggu dengan memakai tata ibadah dari salah satu anggota gereja-gereja PGI.
(3) “ibadah sejati adalah ibadah rohani.” Ciri ketiga ini mau mengingatkan gereja supaya jangan mudah jatuh pada formalisme dan kemunafikan ibadah orang Israel . Gereja-gereja sepanjang abad sering jatuh pada formalisme dan kemunafikan itu. Ini nampak misalnya dalam ibadah yang hanyalah ritus tanpa realitas, bentuk tanpa kuasa, berjalan begitu saja, mekanis, asal jadi, kesenangan tanpa rasa takut akan Tuhan, agama tanpa Allah. [37]Kritik ini senada dengan kritik yang disampaikan oleh F.Tiemeyer 72 tahun lalu ( 1936 ) dengan ucapan yang selalu beliau ulangi : “ibadah – tanpa Allah” ( “Gottesdienst – ohne Gott “ ). Stott sangat menggarisbawahi bahasa alkitabiah “takut akan Tuhan”. [38] Kata kunci ini menyimpan makna yang terdalam akan kerinduan manusia untuk menggapai yang transenden, sebagamana dirindukan oleh Gereja maupun gerakan-gerekan baru kekristenan, seperti gerakan New Age, gerakan yang mencampurbaukan berbagai macam kepercayaan – agama dan sains, fisika dan metafisika, panteisme purba dan optimisme evolusioner, astrologi, spiritisme, reinkarnasi, ekologi dan pengbatan alternative; gerakan yang sadar akan keterbatasan materialisme, yang tak dapat memuaskan roh manusia. Menghadapi kerinduan manusia modern dan post-modern ini, Stott mengharapkan supaya Gereja dapat menawarkan ibadah rohani, yang dapat mengungkapkan unsur “misteri”, seperti “rasa tenang yang sejati”, atau dalam bahasa alkitabiah “takut akan Tuhan”. Beliau tidak dapat mengharapkan banyak dari kaum injili yang mengutamakan pengabaran Injil sebagai spesialisasi mereka. Kaum Injili, demikian beliau, “hanya punya sedikit rasa tentang kebesaran dan keagungan Allah yang Mahakuasa. … tidak bersujud di-hadapan-Nya dengan kagum dan gentar.” [39] Kritik ini menjadi tantangan bagi gereja-gereja arus utama, termasuk HKBP, supaya berhasil menampilkan sikap rohani, sikap “rasa takut keada Allah yang Mahakuasa” itu.
Masih banyak buku-buku yang dapat dipakai untuk diskusi selanjutnya tentang dasar-dasar teologis sebuah tata ibadah, tetapi kedua buku di atas pun sudah memadai untuk memberikan orientasi ke masa kini dan masa mendatang. [40]
5. Revisi: Saran dan Usul.
Pertama, tata ibadah HKBP yang dipakai sejak awal pertumbuhan dan perkembangan jemaat-jemaat yang berasal dari hasil pekabaran Injil Jerman ( RMG ) sejak 1860-an sudah menjadi bagian hidup bahkan menjadi identitas teologis dan praktis dari HKBP. Sumbangan para misionaris angkatan pertama seperti I.L.Nommensen, P.H.Johannsen dan A.Mohri nampak dari isi laporan kerja mereka ke Kantor Pusat RMG di Jerman, demikian pula pemikiran dan keputusan yang mereka ambil dalam Konferensi tahunan mereka di Tanah Batak. Tata ibadah itu sudah pernah mengalami revisi seperti diindikasikan oleh ceramah F.Tiemeyer 1936; sebuah ceramah yang didiskusikan diantara kurun waktu antara Agenda edisi 1904 dan Agenda edisi kini ( misalnya cetakan 1998 ). Sayang kita belum sempat memasuki diskusi mereka dalam Konferensi tahun 1936 itu. Besar kemungkinan tata ibadah itu pernah mengalami revisi atau perubahan yang dibutuhkan sesuai pertumbuhan dan perkembangan jemaat-jemaat pemakainya.
Dalam kedua tata ibadah itu ditemukan susunan mata acara yang berbeda, namun dalam ceramah F.Tiemeyer 1936 atau dalam buku Justin Sihombing 1963 tidak ditemukan alasan-alasan mengapa terjadi perbedaan itu. F.Tiemeyer memberikan uraian yang kritis teologis dan praktis, serta memberi beberapa usul perbaikannya. Justin Sihombing memberikan penjelasan yang mendukungnya, dan memberi berbagai saran bagiamna memakainya secara cermat penuh komitmen, supaya selalu mendukung hal-hal yang fundamental dari tata ibadah itu. Karena tuntutan perubahan yang berkelanjutan, maka sudah sewajarnya tata ibadah kini harus mengalami revisi, supaya gereja HKBP menjadi gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, sebagaimana dijanjikan oleh HKBP sejak tahun 2002, sejak Tata Gereja 2002 disahkan oleh Sinode Godang HKBP 2002.
Kedua, hal-hal yang fundamental yang dirindukan oleh para pendahulu kita, dalam hal ini F.Tiemeyer dan J.Sihombing, serta para pemikir teologi masa kini, hendaknya menjadi acuan bagi revisi tersebut. Hal-hal yang fundamental itu, a.l. (1) otoritas Tuhan Allah yang tidak bisa dikurangi oleh otoritas siapapun ( kata kunci F.Tiemeyer: menghindarkan supaya jangan terjadi : “ibadah – tanpa Allah” ( “Gottesdienst – ohne Gott” ); ( 2 ) berpusat pada firman Allah yang dibaca, dikhotbahkan dan diterima melalui kedua sakramen; (3) berangkat dari “imamat am orang-orang percaya” – seorang liturgis ( pendeta atau partohonan lainnya ) adalah sama di hadapan Allah dan dihadapan jemaat yang berkumpul; (4) kasih dan anugerah Allah yang mengalir dari mata acara pertama hingga mata acara terakhir, karenanya seorang pun tidak dapat mengandalkan kebolehannya / perbuatannya yang baik; (5) nyanyian pujian, paduan suara, dan musik instrumen adalah sarana untuk menyampaikan isi alkitabiah, bukan isi emosional kemanusiaan atau penampilan selebriti oknum-oknum yang membawa mata acara ibadah; (6) seluruh hidup ini adalah ibadah, baik ibadah dalam gedong gereja maupun di luar gedung gereja, yaitu di rumah dan di tempat kerja sebagai ibadah moral ( kesucian hidup ) yang peduli melawan ketidakadilan sosial, kemiskinan dan kebodohan; (7) menyentuh secara utuh hidup ini, yaitu baik pikiran, hati dan perasaan, tanpa jatuh pada sikap yang merugikan akal budi manusia yang selalu mencerahkan itu, tidak jatuh pada ekstase, mistisisme atau aliran New Age; (8) ibadah yang menjaga keutuhan, keseimbangan dan komunikasi timbal-balik; (9) ibadah yang lebih mencerminkan kuasa Injil yang mengikat dan membebaskan ketimbang kuasa Hukum yang menghakimi.
Ketiga, berdasarkan hal-hal yang fundamental di atas, maka ada beberapa unsur yang perlu direvisi, a.l. daftar pertanyaan yang ditujukan kepada orang yang mau dibaptis, yang akan mengikuti janji sidi, perjamuan kudus, calon suami – isteri pada acara pemberkatan nikah, agar dengan demikian nampak kuasa Injil yang mengikat dan sekaligus membebaskan itu dan sekaligus menampakkan keceriaan, sukacita dan bukan beban yang sangat menekan bersangkutan. Hal serupa hendaknya dipikirkan dalam bidang siasat gereja.
Keempat, tentang perbedaan susunan mata acara ibadah dalam kedua Agenda HKBP ( 1904 dan 1998 ), bisa tetap dipertahankan sebagaimana susunannya dalam Agenda 1998 atau kembali pada susunan dalam Agenda 1904 , tanpa mengurangi arti dan makna hal-hal yang fundamental dalam sebuah tata ibadah injili, misalnya dalam penempatan “tingting” ( warta jemaat ) sesudah ( 1904 ) atau sebelum ( 1998 ) khotbah. J. Sihombing memberikan alasan teologis buat penempatan “tingting” sebelum khotbah. [41]
Kelima, mata acara tentang Dasatitah dapat juga dipertahankan, tanpa jatuh pada sikap yang berlebihan akan fungsi Hukum yang sering dipakai untuk memisahkan mereka yang melanggar hukum gereja dari mereka yang tidak melanggarnya atau meeka yang tidak ketahuan melanggarnya, misalnya dalam pemberlakuan hukum “siasat gereja” HKBP. Atau penekanan yang berlebihan supaya manusia itu menampilkan pola hidup yang sangat moralistik dan sekaligus a-sosial, seolah-olah manusia dianggap bukan lagi makhluk sosial. Mata acara ini juga sudah hadir dalam tata ibadah sejak abad-abad pertengahan.[42] Dan sehubungan dengan fungsi siasat gereja itu yang sangat sarat dengan muatan hukum yang berangkat dari sikap “hitam – putih”, yang dikenakan pada seseorang, maka dalam rangka revisi Agenda HKBP, sudah sewajarnya juga kehadiran siasat gereja ini dipikir ulang, apakah masih relevan secara teologis dan praksis bagi gereja yang hidup dalam era post-modern ini. Perbuatan tentang “dosa struktural” ( social ) tidak masuk dalam perhatian hukum gereja seperti tercermin dalam siasat gereja itu.
Keenam, upaya merevisi tata ibadah HKBP, rupanya sama dengan upaya mencari teologia jemaat sebagai suatu kekuatan atau kelemahan dalam dirinya sebagai bagian dari Gereja Tuhan di dunia ini. Artinya, HKBP pada usia menjelang 150 tahun ( 1861 – 2011 ) patut berupaya untuk merumuskan kembali teologia apa yang harus mendasarinya, merumuskan identitas dan jati dirinya yang terbuka untuk pembaharuan, supaya HKBP menjadi sebuah gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka sesuai dengan visi dan misinya. Salah satu hal yang perlu diingat dan tak dapat ditawar-tawar dalam merumuskan identitas HKBP menurut Ephorus Ds.Dr. T.S. Sihombing dalam Barita Jujur Taon HKBP beliau di Sinode Agung HKBP 1972 ialah pengakuan akan landasannya tentang “’hubungan dengan Allah’” ( “pardomuan dohot Debata” ).[43] Artinya, HKBP harus menanyakan dirinya tentang relasinya denganTuhan Allah, sebagaimana disaksikan oleh HKBP dalam Konfesinya, karena identitas HKBP tercermin dalam Konfesinya yang dirumuskan sendiri tahun 1950. Merevisi tata ibadah HKBP dengan demikian adalah bagian dari upaya berteologia di kalangan HKBP bersama-sama dengan gereja-gereja yang sama-sama pewaris tradisi yang ditanamkan para misionaris Jerman ( RMG ) beserta para pelayan pribumi dan para tokoh gereja 147 tahun lampau di Tanah Batak yang plural itu.
Ketujuh, kekuatan dari Kristen Kharismatik, sebagaimana disadari oleh banyak pemikir teolog, misalnya Wilfred J. Samuel [44] , sebaiknya digunakan sehingga ibadah injili itu mencerminkan keceriaan dan sukacita, namun menjauhkan dominasi pengalaman manusia itu sendiri, karena itu akan mengaburkan dasar-dasar teologis seperti dicatat di atas. Bagi ibadah “alternative”, atau “ibadah khusus” atau apa saja namanya, yang diutamakan ialah “mengenal Yesus lebih banyak”, bukan “mengalami Yesus lebih banyak.” [45]Mungkin gereja-gereja arus utama sudah dalam arah yang tepat, ketika mereka menciptakan bentuk-bentuk ibadah yang agak longgar, yang kuran terstruktur, sehingga mereka lebih mampu “unutk mengalami kehadiran dan pemeliharaan Allah.” [46] Mungkin gereja-gereja arus utama harus memberikan peluang misalnya bagi kaum muda untuk melakukan sebuah “ibadah alternativ”[47], di mana pengunjung ibadah itu dapat berbagi pengalaman iman mereka sambil melakukan gerakan-gerakan yang lebih bebas ( tepuk tangan, menyanyikan lagu-lagu pop rohani, diiringi dengan band dan kelompok singersehingga mereka tidak “lari” ke gereja lain. Dan dalam ibadah seperti itu tidak perlu menghilangkan votum dan salam, pengakuan dosa serta janji penghapusan dosa. Yang perlu dihinarkan yakni supaya pengejaran pengalaman religius itu tidak sampai menghilangkan pikiran yang kognitif dan terkendali, artinya jangan sampai pada hal-hal yang bersifat ilusi / kepalsuan.
Penutup. Kiranya paparan di atas tentang sejarah singkat tata ibadah HKBP dalam upaya mencari hal-hal yang fundamental buat sebuah tata ibadah yang injili ini dapat menumbuhkan semangat melayani bagi sahabat kita Pendeta M.V.Simanjuntak dengan pola purna-pelayanannya – pasca usia 65 tahun – di ladang Tuhan HKBP dan gereja-gereja tetangga serta masyarakat dan bangsa. Karena pelayanan itu bukan sebatas usia 65 tahun, dinas penuh waktu, tetapi melampau masa tersebut seumur hidup. Selamat memasuki masa purna pelayanan bagi Pendeta M.V.Simanjuntak beserta keluarga. “… marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah…. ( Ibr. 12:28 ) Seumur hidup!
Medan, Juni 2008
Pdt. J. R. Hutauruk (Ephorus Emeritus HKBP)
Kepustakaan:
Abineno, J.L.Ch., Unsur-Unsur Liturgi Yang Dipakai Oleh Gereja-Gereja Di Indonesia, BPK Gunung Mulia, 2000.
Agende ( 1904 ), dicetak oleh Percetakan Mission ( RMG ), Siantar – Toba, 1904.
Agende Fuer Die Evangelische Kirche Der Union . I.Band Die Gemeindegottesdienste. Luther-Verlag, Witten , 1969.
Agenda Di Huria Kristen Batak Protestant, Percetakan HKBP Pematangsiantar, 1998.
Hutauruk, J.R., Menata Rumah Allah. Kumpulan Tata Gereja HKBP, Kantor Pusat HKBP, 2001.
Ismail,A., Selamat Berbakti. 33 Renungan Tentang Ibadah, BPK Gunung Mulia,2003.
Nommensen, I.L., Aus Huta Dam rim Bataklande, dalam: Berichte der RMG ( Ber.RMG ), No 7 ( Juli ) 1874, hal.193-206.
Nommensen, I.L., Berita tentang usaha Pekebaran Injil di Siloindung tahun 1866, dalam :”Ber.RMG”, No.6 ( Juni ) 1867, hal.167-182 ( terjemahan dari laporan dlm bhs Jerman, tahun 1984 ).
Samuel, W.J., Kristen Kharismatik. Refleksi atas Berbagai Kecenderungan Pasca-Kharismatik, BPK Gunung Mulia, 2006.
Schreiner, L., Nommensen in Selbstzeugnissen, Ammersberg bei Hamburg , 1996.
Sihombing, Justin, Homiletik ( Poda Parjamitaon ) dohot Deba Hatorangan Na Mardomu Tu Agenda, 2000.
Sihombing, Gomar, sebuah buku catatan mata kuliah Sekolah Pendeta di Seminari Sipoholon, t.t.
Sihombing, T.S., Barita Jujur Taon HKBP 1970-1972 ( Berita Perjalanan HKBP 1970-1972 ). Identitas Ni HKBP. Sinode Godang HKBP 29 Oktober 1972 – 4 Nopember 1972 di Universitas HKBP Nommensen Pematang Siantar, Percetakan HKBP, 1972
Stott, J., The Living Church . Menanggapi Pesan Kitab Suci Yang Bersifat Tetap Dalam Budaya Yang Berubah, BPK Gunung Mulia, 2007.
Van Kooij, R.A. & Tsalatsa, Y.A., Bermain Dengan Api. Relasi Antara Gereja-gereja Mainstream Dan Kalangan Kharismatik Pentakosta, BPK Gunung Mulia, 2007.
Van Olst, E.H., Alkitab Dan Liturgi, BPK Gunung Mulia, 2001.
White, F.W., Pengantar Ibadah Kristen, BPK Gunung Mulia, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar